Petisi “Waktu Jeda” untuk Pengembangan Teknologi AI Seperti GPT-4

Published

30 March 2023

Share

, ,
Petisi “Waktu Jeda” untuk Pengembangan Teknologi AI Seperti GPT-4

Surat petisi yang ditandatangani para pakar AI dan pengusaha teknologi bahkan termasuk Elon Musk bertujuan untuk meminta “waktu jeda” dalam pengembangan teknologi ini dalam rangka evaluasi dampak eksistensial di masyarakat.

Dalam sebuah surat terbuka yang disepakati dengan penandatangan petisi oleh ratusan pakar kecerdasan buatan (artificial intelegence/AI), pengusaha di bidang teknologi, dan banyak ilmuwan lainnya, membahas seruan untuk meminta waktu jeda kepada OpenAI terkait pengembangan model bahasa GPT-4. Tindakan ini dilakukan berdasarkan pentingnya evaluasi terkait dampak yang mungkin ditimbulkan oleh keberadaan teknologi AI tersebut.

Dilansir dari Wired, keberadaan teknologi AI seperti GPT-4 dirasa sudah menjadi pesaing manusia dalam mengerjakan beragam tugas. Namun, dalam praktiknya, GPT-4 kerap memberikan informasi yang salah.

Baca juga : Pembaruan OpenAI Lewat GPT-4 Makin Kreatif dan Kolaboratif

Surat tersebut juga mengangkat topik terkait prospek jangka panjang dari sistem AI yang dapat menggantikan manusia dan berpotensi membangun kembali peradaban. Menurut salah satu pihak yang berpartisipasi dalam petisi tersebut seorang profesor di University of Montreal yang juga dianggap sebagai pelopor AI modern, Yoshua Bengio mengungkapkan bahwa seruan itu ditujukan kepada semua laboratorarium pengembangan teknologi AI untuk segera menghentikan pelatihan sistem AI yang lebih kuat dari GPT-4 (termasuk GPT-5 yang sedang dilatih) paling tidak selama 6 bulan ke depan.

Beberapa tokoh lainnya yang turut serta dalam petisi itu adalah sejarawan, Yuval Noah Harari, pendiri Skype, Jaan Tallinn, dan CEO Twitter dan pendiri dari Open AI sendiri, Elon Musk. Surat petisi yang ditulis oleh Future of Life Institute, sebuah organisasi yang fokus pada isu terkait risiko teknologi bagi umat manusia di mana waktu jeda yang diminta harus dapat diverifikasi dan melibatkan semua pihak yang mengerjakan model AI seperti GPT-4.

Dalam surat tersebut juga berisi, apabila waktu jeda itu tidak bisa dilakukan, maka pihak pemerintah harus turun tangan dan melakukan moratorium. Terkait hal ini, pihak Microsoft dan Google pun tidak ada tanggapan terhadap surat tersebut di mana uniknya para pihak yang menandatangani sebagian besar adalah orang-orang yang jadi bagian dari perusahaan teknologi untuk membangun model bahasa tingkat lanjut.

Hannah Wong, juru bicara dari pihak OpenAI mengatakan bahwa perusahaannya menghabiskan lebih dari enam bulan untuk mengerjakan bagian keamanan dan penyelarasan dan dirinya menegaskan bahwa saat ini pihaknya tidak sedang melatih GPT-5. Surat itu muncul di saat sistem AI tengah membuat terobosan berani dan hasilnya mengesankan.

GPT-4 sendiri baru diumumkan 2 minggu lalu dan performanya sendiri menghasilkan antusiasme dan perhatian yang besar dari beragam pihak. Bahkan model bahasa dari salah satu produk populer OpenAI, ChatGPT mendapatkan skor tinggi pada tes akedemik dalam menyelesaikan pertanyaan yang rumit di mana umumnya dianggap memerkukan tingkat kecerdasan yang lebih canggih dari sistem AI sebelumnya. Meskipun begitu, GPT-4 juga masih membuat banyak kesalahan logis yang dinilai sepele dan terkesan “berhalusinasi” dengan menyampaikan informasi yang salah dan berkata kasar yang berpotensi “menggoreng” kebencian di masyarakat yang mencobanya.

Permintaan waktu jeda lewat surat petisi tersebut bukan tanpa alasan karena ada dugaan bahwa OpenAI, Microsoft, dan Google, tengah berlomba dan berfokus pada keuntungan saja untuk mengembangkan serta merilis model AI baru secepat mungkin. Dengan ritme seperti itu, perkembangan terjadi lebih cepat dari aa yang bisa diterima oleh masyrakata dan regulator.

Jika menilik dari sisi skala investasi dan ritme perubahan yang terjadi, Microsoft saja sudah menggelontorkan dana 10 miliar dolar AS ke OpenAI dan menggunakan produk GPT-4 ke mesin pencari Microsoft Bing serta aplikasinya yang lain. Sedangkan Google sebagai salah satu raksasa teknologi dunia yang disebut akan menjadi pesaing ChatGPT tidak mengambil langkah merilis produk AI nya karena masalah etika.

Namun begitu, melihat euforia yang terjadi pada GPT-4, mendorong Google untuk mempercepat rencananya di mana pihaknya akan segera merilis Bard yang digadang menjadi pesaing ChatGPT. Kompetisi antara Microsoft dan Google ditanggapi oleh Peter Stone, seorang profesor di University of Texas dan ketua dari Studi Seratus Tahun tentang AI yang merilis laporan untuk memahami implikasi jangka panjang dari teknologi AI mengatakan bahwa rasanya kita terlalu cepat.

Stone yang juga menandatangani surat petisi tersebut, mengatakan bahwa dirinya tidak setuju dengan semua isinya, dan secara pribadi tidak terlalu peduli dengan bahaya eksistensial. Namun, menurutnya kemajuan terjadi begitu cepat sehingga komunitas AI dan masyarakat umum hampir tidak punya waktu untuk mengeksplorasi manfaat dan kemungkinan penyalahgunaan ChatGPT sebelum ditingkatkan dengan GPT-4.

“Saya pikir ada baiknya mendapatkan sedikit pengalaman tentang bagaimana mereka dapat digunakan dan disalahgunakan sebelum berlomba untuk membangun yang berikutnya,” ungkap Peter yang dilansir GlobalXtreme dari Wired. “Ini seharusnya tidak menjadi perlombaan untuk membangun model berikutnya dan mmerilisnya sebelum yang lain.”

Sedikit melihat sejarah ke belakang, Hingga saat ini, kompetisi berlangsung dengan cepat di mana OpenAI mengumumkan model bahasa besar pertamanya, GPT-2 pada Februari 2019. Dilanjutkan dengan penggantinya, GPT-3, diluncurkan pada Juni 2020. ChatGPT, yang memperkenalkan peningkatan di atas GPT-3, dirilis pada November 2022.

Tambahan dari Emad Mostaque, pendiri dan CEO Stability AI mengatakan bahwa surat petisi tersebut merupakan bagian dari kekhawatiran dalam industri itu sendiri akan ledakan AI saat ini di mana teknologi bergerak dengan kecepatan yang berpotensi bahaya.

“Lompatan” kemampuan AI yang ditampilkan saat ini perlu ada pembatasan dalam penggunaannya dan UE tengah mempertimbangkan undang-undang yang mengaturnya.

“Kita perlu menekan tombol waktu jeda dan mulai mempertimbangkan risiko penyebaran yang cepat dari model AI generatif,” kata Marc Rotenberg, pendiri dan direktur Pusat AI dan Kebijakan Digital, yang juga ikut menandatangani surat tersebut.

Bagaimana menurut Anda terkait pandangan para ahli ini? Setuju?

Terlepas dari pro dan kontra yang terjadi dalam pengembangan kecerdasan buatan (artificial intelegence/AI), GlobalXtreme juga terus berinovasi demi memberikan yang terbaik kepada para pelanggannya. GlobalXtreme selaku penyedia jasa layanan Internet Fiber Optic no. 1 di Bali berkomitmen terus berdampak bagi kemajuan teknologi untuk seluruh lapisan masyarakat dan memberikan layanan terbaik kepada pelanggan melalui jaringan infrastruktur yang memadai, teknisi berpengalaman, dan layanan customer service 24/7. GlobalXtreme memberikan penawaran layanan Internet mulai dari 300.000 rupiah dengan kecepatan 75 Mbps sampai 1 Gbps (Dedicated Internet Access) dan untuk info lebih lanjut hubungi (0361) 736-811.

Petisi “Waktu Jeda” untuk Pengembangan Teknologi AI Seperti GPT-4

Surat petisi yang ditandatangani para pakar AI dan pengusaha teknologi bahkan termasuk Elon Musk bertujuan untuk meminta “waktu jeda” dalam pengembangan teknologi ini dalam rangka evaluasi dampak eksistensial di masyarakat.

Dalam sebuah surat terbuka yang disepakati dengan penandatangan petisi oleh ratusan pakar kecerdasan buatan (artificial intelegence/AI), pengusaha di bidang teknologi, dan banyak ilmuwan lainnya, membahas seruan untuk meminta waktu jeda kepada OpenAI terkait pengembangan model bahasa GPT-4. Tindakan ini dilakukan berdasarkan pentingnya evaluasi terkait dampak yang mungkin ditimbulkan oleh keberadaan teknologi AI tersebut.

Dilansir dari Wired, keberadaan teknologi AI seperti GPT-4 dirasa sudah menjadi pesaing manusia dalam mengerjakan beragam tugas. Namun, dalam praktiknya, GPT-4 kerap memberikan informasi yang salah.

Baca juga : Pembaruan OpenAI Lewat GPT-4 Makin Kreatif dan Kolaboratif

Surat tersebut juga mengangkat topik terkait prospek jangka panjang dari sistem AI yang dapat menggantikan manusia dan berpotensi membangun kembali peradaban. Menurut salah satu pihak yang berpartisipasi dalam petisi tersebut seorang profesor di University of Montreal yang juga dianggap sebagai pelopor AI modern, Yoshua Bengio mengungkapkan bahwa seruan itu ditujukan kepada semua laboratorarium pengembangan teknologi AI untuk segera menghentikan pelatihan sistem AI yang lebih kuat dari GPT-4 (termasuk GPT-5 yang sedang dilatih) paling tidak selama 6 bulan ke depan.

Beberapa tokoh lainnya yang turut serta dalam petisi itu adalah sejarawan, Yuval Noah Harari, pendiri Skype, Jaan Tallinn, dan CEO Twitter dan pendiri dari Open AI sendiri, Elon Musk. Surat petisi yang ditulis oleh Future of Life Institute, sebuah organisasi yang fokus pada isu terkait risiko teknologi bagi umat manusia di mana waktu jeda yang diminta harus dapat diverifikasi dan melibatkan semua pihak yang mengerjakan model AI seperti GPT-4.

Dalam surat tersebut juga berisi, apabila waktu jeda itu tidak bisa dilakukan, maka pihak pemerintah harus turun tangan dan melakukan moratorium. Terkait hal ini, pihak Microsoft dan Google pun tidak ada tanggapan terhadap surat tersebut di mana uniknya para pihak yang menandatangani sebagian besar adalah orang-orang yang jadi bagian dari perusahaan teknologi untuk membangun model bahasa tingkat lanjut.

Hannah Wong, juru bicara dari pihak OpenAI mengatakan bahwa perusahaannya menghabiskan lebih dari enam bulan untuk mengerjakan bagian keamanan dan penyelarasan dan dirinya menegaskan bahwa saat ini pihaknya tidak sedang melatih GPT-5. Surat itu muncul di saat sistem AI tengah membuat terobosan berani dan hasilnya mengesankan.

GPT-4 sendiri baru diumumkan 2 minggu lalu dan performanya sendiri menghasilkan antusiasme dan perhatian yang besar dari beragam pihak. Bahkan model bahasa dari salah satu produk populer OpenAI, ChatGPT mendapatkan skor tinggi pada tes akedemik dalam menyelesaikan pertanyaan yang rumit di mana umumnya dianggap memerkukan tingkat kecerdasan yang lebih canggih dari sistem AI sebelumnya. Meskipun begitu, GPT-4 juga masih membuat banyak kesalahan logis yang dinilai sepele dan terkesan “berhalusinasi” dengan menyampaikan informasi yang salah dan berkata kasar yang berpotensi “menggoreng” kebencian di masyarakat yang mencobanya.

Permintaan waktu jeda lewat surat petisi tersebut bukan tanpa alasan karena ada dugaan bahwa OpenAI, Microsoft, dan Google, tengah berlomba dan berfokus pada keuntungan saja untuk mengembangkan serta merilis model AI baru secepat mungkin. Dengan ritme seperti itu, perkembangan terjadi lebih cepat dari aa yang bisa diterima oleh masyrakata dan regulator.

Jika menilik dari sisi skala investasi dan ritme perubahan yang terjadi, Microsoft saja sudah menggelontorkan dana 10 miliar dolar AS ke OpenAI dan menggunakan produk GPT-4 ke mesin pencari Microsoft Bing serta aplikasinya yang lain. Sedangkan Google sebagai salah satu raksasa teknologi dunia yang disebut akan menjadi pesaing ChatGPT tidak mengambil langkah merilis produk AI nya karena masalah etika.

Namun begitu, melihat euforia yang terjadi pada GPT-4, mendorong Google untuk mempercepat rencananya di mana pihaknya akan segera merilis Bard yang digadang menjadi pesaing ChatGPT. Kompetisi antara Microsoft dan Google ditanggapi oleh Peter Stone, seorang profesor di University of Texas dan ketua dari Studi Seratus Tahun tentang AI yang merilis laporan untuk memahami implikasi jangka panjang dari teknologi AI mengatakan bahwa rasanya kita terlalu cepat.

Stone yang juga menandatangani surat petisi tersebut, mengatakan bahwa dirinya tidak setuju dengan semua isinya, dan secara pribadi tidak terlalu peduli dengan bahaya eksistensial. Namun, menurutnya kemajuan terjadi begitu cepat sehingga komunitas AI dan masyarakat umum hampir tidak punya waktu untuk mengeksplorasi manfaat dan kemungkinan penyalahgunaan ChatGPT sebelum ditingkatkan dengan GPT-4.

“Saya pikir ada baiknya mendapatkan sedikit pengalaman tentang bagaimana mereka dapat digunakan dan disalahgunakan sebelum berlomba untuk membangun yang berikutnya,” ungkap Peter yang dilansir GlobalXtreme dari Wired. “Ini seharusnya tidak menjadi perlombaan untuk membangun model berikutnya dan mmerilisnya sebelum yang lain.”

Sedikit melihat sejarah ke belakang, Hingga saat ini, kompetisi berlangsung dengan cepat di mana OpenAI mengumumkan model bahasa besar pertamanya, GPT-2 pada Februari 2019. Dilanjutkan dengan penggantinya, GPT-3, diluncurkan pada Juni 2020. ChatGPT, yang memperkenalkan peningkatan di atas GPT-3, dirilis pada November 2022.

Tambahan dari Emad Mostaque, pendiri dan CEO Stability AI mengatakan bahwa surat petisi tersebut merupakan bagian dari kekhawatiran dalam industri itu sendiri akan ledakan AI saat ini di mana teknologi bergerak dengan kecepatan yang berpotensi bahaya.

“Lompatan” kemampuan AI yang ditampilkan saat ini perlu ada pembatasan dalam penggunaannya dan UE tengah mempertimbangkan undang-undang yang mengaturnya.

“Kita perlu menekan tombol waktu jeda dan mulai mempertimbangkan risiko penyebaran yang cepat dari model AI generatif,” kata Marc Rotenberg, pendiri dan direktur Pusat AI dan Kebijakan Digital, yang juga ikut menandatangani surat tersebut.

Bagaimana menurut Anda terkait pandangan para ahli ini? Setuju?

Terlepas dari pro dan kontra yang terjadi dalam pengembangan kecerdasan buatan (artificial intelegence/AI), GlobalXtreme juga terus berinovasi demi memberikan yang terbaik kepada para pelanggannya. GlobalXtreme selaku penyedia jasa layanan Internet Fiber Optic no. 1 di Bali berkomitmen terus berdampak bagi kemajuan teknologi untuk seluruh lapisan masyarakat dan memberikan layanan terbaik kepada pelanggan melalui jaringan infrastruktur yang memadai, teknisi berpengalaman, dan layanan customer service 24/7. GlobalXtreme memberikan penawaran layanan Internet mulai dari 300.000 rupiah dengan kecepatan 75 Mbps sampai 1 Gbps (Dedicated Internet Access) dan untuk info lebih lanjut hubungi (0361) 736-811.